Soal pacaran
di zaman sekarang tampaknya menjadi gejala umum di kalangan kawula
muda. Barangkali fenomena ini sebagai akibat dari pengaruh kisah-kisah
percintaan dalam roman, novel, film dan syair lagu. Sehingga terkesan
bahwa hidup di masa remaja memang harus ditaburi dengan bunga-bunga
percintaan, kisah-kisah asmara, harus ada pasangan tetap sebagai tempat
untuk bertukar cerita dan berbagi rasa.
Selama
ini tempaknya belum ada pengertian baku tentang pacaran. Namun
setidak-tidaknya di dalamnya akan ada suatu bentuk pergaulan antara
laki-laki dan wanita tanpa nikah.
Kalau
ditinjau lebih jauh sebenarnya pacaran menjadi bagian dari kultur
Barat. Sebab biasanya masyarakat Barat mensahkan adanya fase-fase
hubungan hetero seksual dalam kehidupan manusia sebelum menikah seperti puppy love (cinta monyet), datang (kencan), going steady (pacaran), dan engagement (tunangan).
Bagaimanapun
mereka yang berpacaran, jika kebebasan seksual da lam pacaran diartikan
sebagai hubungan suami-istri, maka dengan tegas mereka menolak. Namun,
tidaklah demikian jika diartikan sebagai ungkapan rasa kasih sayang dan
cinta, sebagai alat untuk memilih pasangan hidup. Akan tetapi
kenyataannya, orang berpacaran akan sulit segi mudharatnya ketimbang
maslahatnya. Satu contoh : orang berpacaran cenderung mengenang dianya.
Waktu luangnya (misalnya bagi mahasiswa) banyak terisi hal-hal semacam
melamun atau berfantasi. Amanah untuk belajar terkurangi atau bahkan
terbengkalai. Biasanya mahasiswa masih mendapat kiriman dari orang tua.
Apakah uang kiriman untuk hidup dan membeli buku tidak terserap untuk
pacaran itu ?
Atas
dasar itulah ulama memandang, bahwa pacaran model begini adalah
kedhaliman atas amanah orang tua. Secara sosio kultural di kalangan
masyarakat agamis, pacaran akan mengundang fitnah, bahkan tergolong
naif. Mau tidak mau, orang yang berpacaran sedikit demi sedikit akan
terkikis peresapan ke-Islam-an dalam hatinya, bahkan bisa mengakibatkan
kehancuran moral dan akhlak. Na’udzubillah min dzalik !
Sudah banyak gambaran kehancuran moral akibat pacaran, atau pergaulan bebas yang telah terjadi akibat science dan peradaban modern (westernisasi). Islam sendiri sebagai penyempurnaan dien-dien
tidak kalah canggihnya memberi penjelasan mengenai berpacaran. Pacaran
menurut Islam diidentikkan sebagai apa yang dilontarkan Rasulullah SAW :
"Apabila seorang di antara kamu meminang seorang wanita, andaikata dia
dapat melihat wanita yang akan dipinangnya, maka lihatlah." (HR Ahmad dan Abu Daud).
Namun
Islam juga, jelas-jelas menyatakan bahwa berpacaran bukan jalan yang
diridhai Allah, karena banyak segi mudharatnya. Setiap orang yang
berpacaran cenderung untuk bertemu, duduk, pergi bergaul berdua. Ini
jelas pelanggaran syari’at ! Terhadap larangan melihat atau bergaul
bukan muhrim atau bukan istrinya. Sebagaimana yang tercantum dalam HR
Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas yang artinya: "Janganlah salah
seorang di antara kamu bersepi-sepi (berkhalwat) dengan seorang wanita,
kecuali bersama dengan muhrimnya." Tabrani dan Al-Hakim
dari Hudzaifah juga meriwayatkan dalam hadits yang lain: "Lirikan mata
merupakan anak panah yang beracun dari setan, barang siapa meninggalkan
karena takut kepada-Ku, maka Aku akan menggantikannya dengan iman
sempurna hingga ia dapat merasakan arti kemanisannya dalam hati."
Tapi
mungkin juga ada di antara mereka yang mencoba "berdalih" dengan
mengemukakan argumen berdasar kepada sebuah hadits Nabi SAW yang
diriwayatkan Imam Abu Daud berikut : "Barang siapa yang mencintai
karena Allah, membenci karena Allah, atawa memberi karena Allah, dan
tidak mau memberi karena Allah, maka sungguh orang itu telah
menyempurnakan imannya." Tarohlah mereka itu adalah orang-orang yang mempunyai tali iman yang kokoh, yang nggak bakalan
terjerumus (terlalu) jauh dalam mengarungi "dunia berpacaran" mereka.
Tapi kita juga berhak bertanya : sejauh manakah mereka dapat
mengendalikan kemudi "perahu pacaran" itu ? Dan jika kita kembalikan
lagi kepada hadits yang telah mereka kemukakan itu, bahwa barang siapa
yang mencintai karena Allah adalah salah satu aspek penyempurna keimanan
seseorang, lalu benarkah mereka itu mencintai satu sama lainnya
benar-benar karena Allah ? Dan bagaimana mereka merealisasikan
"mencintai karena Allah" tersebut ? Kalau (misalnya) ada acara
bonceng-boncengan, dua-duaan, atau bahkan sampai buka aurat (dalam arti
semestinya selain wajah dan dua tapak tangan) bagi si cewek, atau yang
lain-lainnya, apakah itu bisa dikategorikan sebagai "mencintai karena
Allah ?" Jawabnya jelas tidak !
Dalam
kaitan ini peran orang tua sangat penting dalam mengawasi pergaulan
anak-anaknya terutama yang lebih menjurus kepada pergaulan dengan lain
jenis. Adalah suatu keteledoran jika orang tua membiarkan anak-anaknya
bergaul bebas dengan bukan muhrimnya. Oleh karena itu sikap yang bijak
bagi orang tua kalau melihat anaknya sudah saatnya untuk menikah, adalah
segera saja laksanakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa reaksi anda?